Upaya terakhir Obama untuk menutup penjara Guantanamo
Napi yang mengenakan seragam berwarna orange tengah melakukan wudhu sebelum menunaikan salat di penjara militer Angkatan Laut AS di Teluk Guantanamo, Kuba pada 27 Januari 2002. Foto oleh J. Scott Applewhite/Pool/EPA
JAKARTA, Indonesia — (UPDATED) Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengirimkan sebuah proposal ke kongres untuk menutup fasilitas penjara militer di Teluk Guantanamo, Kuba, pada Selasa, 23 Februari 2016.
Ini merupakan upaya terakhir yang ditempuh Obama untuk memenuhi janji kampanyenya pada 2008 lalu sebelum meninggalkan Gedung Putih.
"Membiarkan penjara militer AS di Teluk Guantanamo tetap beroperasi sangat bertentangan dengan nilai-nilai kami," kata Obama ketika memberikan keterangan pers di Gedung Putih seperti dikutip BBC.
"Penutupan ini merupakan babak penutup dalam sejarah kita. Langkah ini mencerminkan hikmah yang kita pelajari sejak peristiwa 11 September."
Dalam sebuah proposal yang telah dikirimkan oleh Departemen Pertahanan, Obama mengajukan empat komponen utama dalam rencananya, yaitu:
- Pertama, memindahkan 35 narapidana terduga teroris ke negara asing yang telah ditetapkan.
- Kedua, melakukan peninjauan secara berkala mengenai narapidana yang tersisa jika diperlukan.
- Ketiga, melanjutkan untuk menggunakan cara-cara hukum untuk mengatasi para narapidana.
- Keempat, bekerja sama dengan kongres untuk mencari sebuah lokasi di AS untuk tetap menahan mereka.
Gedung Putih menyebut dengan memberlakukan kebijakan tersebut bisa menghemat anggaran hingga US$ 180 juta atau setara Rp 2,4 triliun per tahun.
Obama mengatakan penting untuk tidak mewariskan permasalahan kepada penggantinya kelak.
Berdasarkan data, jumlah napi yang tersisa di Lapas Guantanamo tersisa 91 orang. Sebelumnya, ketika dibuka pada 2002, terdapat 783 napi.
Sikap tersebut disambut baik oleh PBB. Komisioner PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM), Zeid Ra'ad Al Hussein, menekankan tidak ada napi yang seharusnya masih ditahan di penjara tanpa dikenai dakwaan atau persidangan.
"Semua napi di Guantanamo seharusnya dipindahkan ke pusat lembaga pemasyarakatan di tanah AS atau negara lain di mana sistem peradilan yang berlaku adalah peradilan sipil yang sesuai dengan norma dan standar internasional," kata Zeid seperti dikutip kantor berita Reuters.
Kendati mendapat sambutan hangat dari PBB, rencana tersebut sudah siap ditentang oleh DPR dan Kongres. Ketua DPR, Paul Ryan, mengatakan kebijakan Obama dengan memindahkan napi dari penjara di Kuba ke AS akan melanggar hukum. Sebab, hal tersebut akan melanggar larangan yang telah diloloskan Kongres pada 2015.
"Hukum kami jelas para napi ini tidak boleh menjejakkan kaki di tanah Amerika. Maka kami akan melakukan persiapan hukum jika presiden mencoba untuk melanggar hukum," kata Ryan.
Nasib Hambali
Di antara 91 napi yang masih ditahan di Guantanamo, terdapat Hambali, seorang WNI yang ditangkap Badan Intelijen AS (CIA) di Thailand pada 2003 lalu.
Pemilik nama asli Ridwan Isamuddin itu ditangkap karena dianggap terlibat dalam beberapa serangan teror seperti pengeboman malam Natal pada 2000 dan Bom Bali I pada 2002.
Berdasarkan dokumen Departemen Pertahanan AS yang dibocorkan Wikileaks, Hambali dianggap memiliki risiko tinggi yang bisa mengancam Negeri Paman Sam dan negara sekutunya.
Sejak awal, Pemerintah Indonesia sulit mendapatkan akses untuk bisa berkomunikasi dengan pria yang memiliki nama alias Encep Nurjaman itu.
Apakah dengan adanya rencana penutupan lapas Guantanamo, berarti Hambali dikembalikan ke Indonesia? Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Panjaitan, memastikan Hambali tidak akan dipulangkan ke Indonesia. Saat ini Hambali sudah berada di penjara federal di AS.
"Kami juga tidak ingin menambah masalah dalam negeri," kata Luhut yang ditemui di kantornya hari ini pada Jumat, 11 Maret.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, sebelumnya sudah memprediksi kecil kemungkinan Hambali akan dikembalikan ke Tanah Air. Sebab, selain tidak ada mekanisme hukum yang mengatur hal itu, negeri Paman Sam tidak akan membiarkan rahasia interogasi mereka terungkap ke Indonesia.
"Jika Hambali dikembalikan ke Indonesia agak sulit, sebab kejadian semacam ini belum pernah terjadi. Antara AS dengan Indonesia tidak ada perjanjian ekstradisi atau pertukaran napi," kata Reza yang dihubungi Rappler melalui telepon pada Rabu, 24 Februari.
"Lagipula jika dikembalikan kemari, pemerintah harus mau meminta bukti-bukti interogasi yang mereka lakukan di sana."
Dia juga berpikir AS kemungkinan besar hanya akan memindahkan sebagian besar napi teroris itu ke penjara di negara mereka. Tetapi, proses tersebut juga tidak akan berjalan mulus, karena akan penentangan dari warga setempat.
Mereka tidak ingin areanya dihuni oleh napi teroris.
"Mungkin untuk amannya bagi pemerintah AS, para napi dipindahkan ke pangkalan militer AS di dalam negeri. Sebab, pengawasan yang diberlakukan adalah pengawasan militer," kata Reza.
Sementara, pengamat intelijen Wawan Purwanto mengatakan bisa saja jika Hambali dikembalikan ke Indonesia. Namun, ketika berada di Tanah Air, dia harus melalui proses peradilan sipil sehingga bisa ada kejelasan mengenai keterlibatannya dalam beberapa aksi teror.
"Dari informasi yang saya miliki, Hambali tidak intens bertemu dengan Osama bin Laden. Dia baru bertemu Osama dua kali, lalu dititipi uang untuk mendanai gerakan ekstrimisme. Setelah itu, petualangannya berakhir," kata Wawan melalui telepon.
Wawan juga menyebut, apa yang diberitakan oleh media massa terlalu berlebihan. Hambali menilai apa yang dia lakukan tidak seperti yang ditulis oleh media.
"Media mengatakan dia tokoh Al-Qaeda di Asia Tenggara. Padahal, dia tidak merasa seperti itu. Dia hanya merasa dititipi uang saja. Tetapi, kalau seandainnya dia dikembalikan, pemerintah perlu melihat laporan pemeriksaan selama di Guantanamo seperti apa," tutur Wawan.
Dari laporan itu bisa ditelusuri, proses penerapan hukum yang harus diberlakukan terhadap Hambali. —Rappler.com
BACA JUGA:
Ayo langganan Indonesia wRap