Tak ada jalan selain referendum
Massa dari Aliansi Mahasiswa Papua meneriakkan yel-yel saat terlibat kericuhan dengan petugas kepolisian ketika aksi di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta, Selasa (1/12). Aksi yang diikuti ratusan mahasiswa Papua itu dibubarkan oleh kepolisian karena tidak memiliki ijin untuk melakukan unjukrasa. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pras/15
JAKARTA, Indonesia — Gerakan pembebasan rakyat Papua Barat telah berlangsung sejak tahun 1963 dengan dukungan dari berbagai negara asing maupun negara Melanesia lainnya. Kini, giliran warga Indonesia non-Papua menyampaikan dukungannya.
Koalisi organisasi masyarakat yang menamakan dirinya Front Rakyat Indonesia (FRI) for West Papua hari ini mengatakan sepakat bila rakyat Papua ingin menetukan nasibnya sendiri. "Bukan hanya mereka di Provinsi Papua Barat, tapi seluruh Papua," kata juru bicara FRI-West Papua Surya Anta di LBH Jakarta, Jakarta, pada Selasa, 29 November 2016.
Selama ini, kata dia, pemerintah Indonesa telah memperlakukan warga Papua Barat dengan semena-mena. Mereka dimanipulasi secara sejarah, dan mendapatkan perlakuan diskriminatif rasial. Pulau mereka yang kaya akan sumber daya alam dieksploitasi, namun hasilnya tidak mereka rasakan.
"Diskriminasi terhadap warga Papua sudah tampak sejak zaman Ali Moertopo pada tahun 1966, kemudian berlanjut terus di tempat kerja, pemerintahan, dan sektor bisnis. Baru-baru ini juga tampak saat pengepungan asrama mahasiswa Papua di Kamasan, Yogyakarta," kata dia.
Ia merujuk pada ucapan Jenderal Ali Moertopo saat bertugas di Papua Barat menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Di situ, Ali mengatakan Indonesia hanya membutuhkan kekayaan Papua, bukan orang-orangnya.
Menurut Surya, bila seorang atasan militer berani menunjukkan sikap rasis, akan mudah bagi bawahannya untuk meniru. Ia mengatakan, saat pengepungan Kamasan, seorang mahasiswa bernama Obby Kogoya disiksa oleh aparat keamanan dan disebut 'monyet.'
Manipulasi sejarah
Alasan lain yang membuat FRI menyerukan pembebasan Papua Barat adalah karena Indonesia berada di sana secara ilegal. "Papua Barat bukanlah bagian dari Indonesia. Dan selama masih berada di bawah pemerintahannya, tidak akan ada kebahagiaan bagi warga Papua," kata Surya.
Berawal ketika pemerintahan kolonial Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan mengalihkan pemerintahan pada 27 Desember 1949, Papua Barat adalah adalah daerah bebas yang diakui Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Belanda. Bahkan, pada 1 Desember 1961, mereka memerdekan diri dan membentuk parlemen Papua Nugini. Bagaimanapun juga, pemerintahan Presiden Soekarno tidak mengakui pernyataan merdeka tersebut dan menganggap Papua sebagai 'negara boneka' di bawah kendali Belanda. Dari sinilah muncul program Tri Komando Rakyat (Trikora) yang intinya tetap memasukkan Papua sebagai bagian Indonesia.
Konflik terus berlangsung hingga muncul Perjanjian New York pada tahun 1962, yang menyatakan Indonesia tidak memiliki hak atas Papua. Setidaknya, hingga ada kesepakatan dari rakyat setempat untuk mengintegrasikan diri.
Akhirnya, pada 1969, Pepera berlangsung, dengan persyaratan diikuti minimal 0,2 persen populasi Papua Barat atau minimal 1.025 orang. Sejarah mencatat memang ada 1.026 orang yang ikut, tetapi hanya 1.022 yang memilih sementara 4 lagi tidak berpartisipasi.
"Belum lagi mereka ditekan untuk memilih tetap menjadi bagian Indonesia. Pemungutan suara tersebut tidak sah," kata dia. Namun, yang tertera dalam benak jutaan rakyat Indonesia berbeda. Papua Barat, bagi mereka, adalah bagian Indonesia.
Genosida perlahan
Selama 53 tahun terakhir, lebih dari 500 ribu penduduk asli Papua dibantai; berawal sejak Trikora dan pembasmian gerakan Fery Awom pada 1967.
Setelah itu masih berlanjut lagi dengan peristiwa Biak Berdarah, dan kematian misterius aktivis Papua Barat seperti Theys Eluay, Petrus Ayamiseba, Mako Tabuni. Terakhir, ada Robert Jitmau, yang vokal mengkritisi tak terealisasinya janji Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk membangun pasar bagi 'mama-mama' Papua. Populasi asli Papua telah berkurang hingga 48,7 persen; digantikan oleh pendatang.
Belum lagi penangkapan semena-mena terhadap aktivis dan warga biasa. Selama April hingga Juni 2016, Human Rights Papua mencatat ada 4.183 orang yang ditangkap tanpa dasar hukum jelas.
Waktu awal kampanye, sambutan masyarakat Papua terhadap terpilihnya Jokowi sangat baik. Namun, 2 tahun berlalu perubahan tak terlalu signifikan.
"Janji simpel seperti pasar saja tak kunjung jadi, apalagi membebaskan warga dari cengkeraman militer?" kata Surya. Pemerintah malah terus menerus mengintervensi upaya masyarakat Papua untuk mencapai kebebasannya. Seperti tidak mengizinkan peneliti asing masuk ke sana, membatasi jurnalis asing, hingga campur tangan dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Surya melihat perilaku pemerintah Indonesia terhadap Papua Barat sama dengan Israel terhadap Palestina. "West Papua adalah bangsa. Munafik kalau menyuarakan pembebasan Palestina tapi diam melihat kolonialisasi di dalam Indonesia," kata dia.
Aktivis Papua Itu Kita, Bernard Agapa, juga melihat adanya upaya pembungkaman lewat matinya internet di Papua setiap kali ada momen besar. Saat periode Juli hingga Agustus tahun ini, peristiwa tersebut kerap terjadi.
Saat itu, Papua tengah aktif-aktifnya berpolitik, terutama dengan undangan dari Melanesia Spearhead Group (MSG). Polda Metro Papua mengeluarkan maklumat 1 Juli 2016 yang melarang demo dengan atribut tertentu hingga mempersulit gerakan.
"Kawan-kawan Papua sering berkomunikasi ataupun kampanye di sosmed dan salah satu cara untuk tidak bisa menyampaikan dukungan ataupun ekspresi di media online/sosmed.. ya, internetnya yg dibatasi," kata Bernard saat dihubungi Rappler. Menurutnya, pola pembatasan ruang gerak masyarakat tersebut sangat jelas.
Memberikan kebebasan
Tuntutan FRI, kepada pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia, adalah untuk membiarkan rakyat Papua Barat menentukan nasib mereka sendiri. "Bukan perluasan otonomi dan lain-lain, tetapi penentuan nasib," kata dia.
Hal ini akan disampaikan pada aksi bersama dari Bundaran HI hingga Istana Presiden pada 1 Desember 2016. Surya memperkirakan 200 orang akan hadir, termasuk dari organisasi Aliansi Masyarakat Papua (AMP).
Ketua Umum AMP Jefry Wenda mengatakan sudah waktunya bagi masyarakat Papua untuk memperoleh kebebasan mereka. Saat ditanyakan apakah keinginan ini mewakili seluruh populasi Papua Barat, ia mengatakan media nasional tidak memberitakan dengan utuh apa yang bergejolak di sana.
"Ada yang dibatasi atau diubah, tidak semuanya diberitakan," kata dia.
Sementara Surya sendiri menjawab dengan contoh gerakan ribuan orang setiap kali para aktivis pembebasan Papua Barat menggelar aksi. "Bisa menutup Jayapura hingga Manokwari. Kalau misalkan agenda ini merupakan keinginan pihak eksternal seperti negara Barat, apa bisa demikian?" kata dia.—Rappler.com
Ayo langganan Indonesia wRap