Dubes Donovan: Warga Indonesia tidak dilarang mengunjungi Amerika Serikat
PESANTREN. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph R Donovan mendengarkan pertanyaan dari santri pada kegiatan kunjungan di Pondok Pesantren Assalaam, Pabelan, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis, 19 Januari. Foto oleh Muhammad Ayudha/ANTARA
JAKARTA, Indonesia - Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph Donovan mengatakan pemerintahnya tidak mengeluarkan larangan bagi WNI untuk berkunjung ke Negeri Paman Sam. Hal itu karena Indonesia tidak termasuk ke dalam tujuh negara yang warganya dilarang masuk ke Amerika Serikat.
Donovan juga kembali mengulangi pernyataan Presiden Donald Trump bahwa kebijakan baru di bidang imigrasi bukan terkait agama atau Islam.
“Keppres itu ditujukan untuk melindungi keamanan dan perbatasan Amerika Serikat dan berlaku sementara waktu yakni 90 hari, di mana kami bisa meninjau kembali prosedur yang telah kami miliki,” ujar Donovan usai melakukan pertemuan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti pada Senin, 30 Januari.
Dia juga menjelaskan apa yang dilakukan oleh Pemerintah AS semata-mata hanya untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan perbatasan di Negeri Paman Sam. Apa pun kebijakan dari Gedung Putih, kata Donovan akan selalu disampaikan kepada publik dan Kementerian Luar Negeri.
“Kami ingin pihak Kemlu paham bahwa (kebijakan ini) bukan tentang agama atau Islam. Sebab, jika itu yang dijadikan sasaran maka 40 negara di mana penduduknya mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, akan terkena dampaknya.
Usai 90 hari dan dilakukan peninjauan kembali maka Pemerintah AS akan kembali mengeluarkan visa bagi semua negara. Kebijakan imigrasi baru yang dikeluarkan oleh administrasi Trump menuai protes tidak hanya dari tujuh negara yang warganya dilarang masuk, tetapi juga di seluruh dunia.
Sebelumnya, Indonesia menyampaikan penyesalannya atas kebijakan pelarangan masuk warga dari Suriah, Irak, Iran, Yaman, Somalia, Sudan dan Libya ke AS selama 90 hari. Jika alasannya, warga dari ketujuh negara itu dianggap berpotensi menyebarkan aksi terorisme, maka kebijakan imigrasi Trump dianggap bukan solusi.
“Meskipun kebijakan ini merupakan hak berdaulat Amerika Serikat, tetapi diyakini akan berdampak negatif terhadap upaya global dalam memerangi terorisme dan penanganan isu pengungsi,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir dalam keterangan tertulis pada Senin, 30 Januari.
Alih-alih dengan dilakukan pemeriksaan terhadap latar belakang setiap warga yang akan berkunjung ke Negeri Paman Sam, terorisme baru bisa diatasi dengan mengedepankan kerjasama internasional, termasuk dalam mengatasi akar penyebab permasalahannya.
Khawatir kena deportasi
Kebijakan lain yang dianggap akan berdampak secara langsung terhadap WNI yakni soal deportasi bagi imigran ilegal dan tidak memiliki dokumen. Data yang dikutip dari Kementerian Luar Negeri ada sekitar 34.390 WNI yang bermukim di AS dan telah melebihi batas izin yang diberikan.
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan data tersebut diambil dari tahun 2015 dan bisa jadi tidak akurat. Angka sesungguhnya mungkin mencapai dua kali lipat data tersebut.
Pemerintah Indonesia sudah mengantisipasi dengan mengaktifkan semua hotline perwakilan di Negeri Paman Sam. (BACA: Antisipasi kebijakan imigrasi, Pemerintah Indonesia aktifkan hotline telepon di AS)
Tetapi harus kah mereka khawatir? Presiden IMAAM Center, organisasi non profit berbasis religi, Dr. Amang Sukaesih mengatakan deportasi terhadap imigran ilegal tidak mudah. Apalagi saat ini banyak walikota dan gubernur yang protes terhdap kebijakan Trump. Bahkan, mogul properti itu mengancam tidak memberikan dana pemerintah federal kepada kota-kota suaka yang memberikan perlindungan kepada imigran ilegal.
“Sekarang, bagaimana mungkin pejabat imigrasi mengidentifikasi para imigran gelap dan menangkap mereka? Yang harus dilakukan oleh warga asing di AS jika ingin tidak dideportasi yakni mereka harus menghindar agar tidak ditangkap oleh polisi atau terlibat pelanggaran hukum” ujar Amang kepada Rappler pada Senin, 30 Januari. - Rappler.com
Ayo langganan Indonesia wRap