Ini empat syarat dari pemerintah bagi Telegram
JUMPA PERS. Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan (ketiga kiri) bersama Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT Irjen Pol Arief Dharmawan (kedua kiri), Direktur Penegakan Hukum BNPT Brigjen Pol Marthinus Hukom (kanan) dan Direktur Keamanan Informasi Kemkominfo Aidil Cenderamata (kiri) memberikan keterangan pers tentang Perkembangan Penutupan Akses Layanan Telegram di kantor Kemkominfo, Jakarta, Senin, 17 Juli. Foto oleh Muhammad Adimaja/ANTARA
JAKARTA, Indonesia - Kementerian Komunikasi dan Informatika akhirnya memberikan penjelasan cukup detail mengenai alasan mereka memblokir secara terbatas aplikasi pesan pendek Telegram di Indonesia. Mereka mengatakan khawatir dengan berbagai konten yang beredar di aplikasi pesan pendek yang diciptakan tahun 2011 lalu itu.
Sebagian besar kontenya mengandung komunikasi berbahaya, mulai dari penyebaran paham radikal, transaksi narkoba, hingga ke panduan cara merakit bom. Kemkominfo memiliki bukti 17 ribu halaman salinan pembicaraan yang diunduh dari beragam grup yang dianggap mencurigakan.
Ini bukti dokumen yg berisi adanya komunikasi di Telegram yg mengandung konten radikal. @RapplerID pic.twitter.com/ydcJVX35Yv
— Santi Dewi (@santidewi888) July 17, 2017
“Berdasarkan kejadian-kejadian teror yang sudah ada pada periode 23 Desember 2015-8 Juli 2017, para teroris menggunakan aplikasi ini untuk berkomunikasi. Hanya sebagian kecil saja yang tidak memanfaatkannya. Oleh sebab itu, kami melakukan langkah pencegahan strategis,” ujar Dirjen Aptika Kemkominfo Samuel Abrijani Pangerapan ketika memberikan keterangan pers pada Senin malam, 17 Juli.
Usai mengantongi barang bukti, Kemkominfo kemudian melayangkan keluhan kepada Telegram. Samuel menyebut sudah enam kali mereka mengirimkan surat elektronik. Kali pertama dikirimkan pada 29 Maret 2016 hingga terakhir pada 14 Juli kemarin. Satu pun tidak ada yang direspons.
Geram merasa diabaikan, pemerintah akhirnya memutuskan untuk memblokir sebagian aplikasi Telegram mulai Jumat, 14 Juli. Netizen pun ribut di dunia maya dan mempertanyakan kebijakan pemerintah yang dianggap serampangan itu. Tetapi, Samuel bergeming tidak gegabah mengambil keputusan tersebut.
Ia mengaku menggunakan Peraturan Menteri nomor 19 tahun 2014 sebagai acuan kebijakannya. Langkah untuk menyentil Telegram itu berhasil. Sebab, pada Minggu pagi, 16 Juli, CEO Telegram Pavel Durov mengeluarkan pernyataan resmi.
Dia mengaku keliru lantaran tidak merespons beberapa e-mail yang telah dikirimkan oleh Pemerintah Indonesia. Pavel tentu menyadari bahwa aplikasinya ramai digunakan oleh para teroris.
Hal itu lantaran komitmen mereka untuk melindungi identitas semua penggunanya. Bahkan, dalam fitur secret chat, komunikasi kedua pihak dienkripsi oleh Telegram. Sehingga, tidak ada satu pun orang, termasuk Telegram yang bisa melakukan intersepsi.
Tetapi, di sisi lain, Pavel membantah jika perusahaannya berteman dengan teroris. Untuk menghindari miskomunikasi lainnya di waktu mendatang, Pavel menawarkan tiga solusi kepada Pemerintah Indonesia. (BACA: Pernyataan lengkap CEO Telegram tentang pemblokiran di Indonesia)
Namun, Indonesia mengajukan empat langkah. Pertama, Kemkominfo meminta dibuat government channel untuk memudahkan komunikasi di antara kedua pihak, kedua, pemerintah meminta diberikan otoritas sebagai trusted flagger terhadap akun atau kanal dalam layanan Telegram.
Ketiga, Kemkominfo meminta Telegram membuka kantor perwakilan di Indonesia dan keempat, Kemkominfo akan melakukan perbaikan pada pengorganisasian teknis dan SDM untuk tata kelola penapisan konten.
Samuel menegaskan, jika empat ketentuan segera dipenuhi, maka aplikasi Telegram bisa dinormalisasikan operasionalnya.
“Telegram itu tidak sama seperti penyedia jasa layanan lainnya seperti Facebook, Twitter dan Google. Kalau ada masalah dengan mereka, kami tahu kantornya ada di mana, mereka menyediakan PIC. Sehingga jika terjadi sesuatu, bisa terjalin komunikasi yang lebih efektif. Dengan cara ini, kami akhirnya memaksa mereka agar membuka perwakilannya di Indonesia,” kata Samuel.
Sejauh ini, belum ada tenggat waktu yang disepakati oleh kedua pihak soal kapan normalisasi aplikasi. Baik Kemkominfo dengan Telegram mengaku masih terus berkomunikasi.
Lebih banyak lewat website
Dalam kesempatan itu, Samuel juga menjelaskan, mengapa pemerintah hanya memblokir aplikasi Telegram yang berbasiskan web. Menurutnya, transfer informasi dengan kapasitas lebih besar dilakukan dengan menggunakan layanan web Telegram.
“Dengan web based memungkinkan pertukaran data dengan kapasitas lebih besar bahkan mencapai 1,5 gigabyte. Jika menggunakan aplikasi di ponsel, kapasitas data yang dikirim terbatas,” katanya menjelaskan.
Pemerintah juga berharap agar masyarakat dapat memahami kebijakan tersebut. Sebab, sebelum keputusan itu ditempuh, Kemkominfo sudah menggandeng dan meminta masukan dari berbagai instansi, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri dan intelijen.
“Untuk itu kami harus mengambil langkah lebih tegas, karena mereka yakin bisa bersembunyi di balik aplikasi ini,” kata dia.
Di satu sisi, jika permintaan pemerintah dipenuhi oleh Telegram, maka mereka berjanji tidak akan memata-matai aktivitas publik awam. Samuel menggarisbawahi yang akan dipantau oleh Kemkominfo adalah komunikasi orang-orang yang dianggap membahayakan keamanan negara. - Rappler.com
Ayo langganan Indonesia wRap