Riset MaPPI paparkan praktik jamak pungli di area pengadilan negeri
PUNGLI. Ilustrasi yang menggambarkan maraknya pungli di area pengadilan. Ilustrasi: Rappler
JAKARTA, Indonesia - Korupsi masih menjadi penyakit akut di Indonesia. Salah satu area yang rawan dan kerap terjadi korupsi yakni di pengadilan.
Korupsi di pengadilan terjadi dalam bentuk pungutan liar di luar ketentuan, tidak ada kembalian, dan uang 'lelah'. Riset yang dilakukan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menunjukkan nilai pungutan berkisar dari Rp 10 ribu hingga Rp 500 ribu. Peneliti MaPPI hanya meneliti di lima kota yakni Banten, Medan, Bandung, Yogyakarta dan Malang.
"Ada 77 narasumber yang kami wawancarai. Mereka adalah para pelaku yang melakukan pungutan liar terhadap layanan pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan yang dilakukan oleh panitera pengganti dan atau panitera muda hukum," ujar peneliti MaPPI, Siska Trisia di Jakarta Pusat pada Jumat, 8 Desember.
Siska pun menemukan bahwa layanan pendaftaran surat kuasa dan mendapatkan salinan putusan adalah dua layanan yang sangat signifikan untuk dijadikan pungli.
Berikut data yang ditemukan MaPPI FH UI:
Sementara, temuan Ombudsman pun tidak jauh berbeda. Mereka mengatakan ada peningkatan angka laporan terkait masalah dalam pelayanan publik di pengadilan. Pada tahun 2014, Ombudsman menerima 240 laporan pengaduan. Angka itu terus naik di tahun 2015 dengan menerima 255 laporan pengaduan. Laporan itu antara lain berkaitan dengan penanganan perkara yang berlarut-larut, praktik pencaloan, penyimpangan prosedur dalam penyerahan salinan putusan dan petikan putusan.
Bahkan, laporan terkait tindak pungli di pengadilan ini menjadi laporan ke-6 terbanyak yang diterima Ombudsman.
Komisioner Ombudsman, Ninik Rahayu menyayangkan masih banyaknya praktik pungutan liar terjadi di lingkungan Pengadilan Negeri. Apalagi Mahkamah Agung sudah cukup banyak menerbitkan berbagai peraturan yang bertujuan memberantas praktik pungutan liar di pengadilan dan memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan publik di pengadilan. Instrumen itu antara lain Surat Keputusan Ketua MA nomor 46 tahun 2012 mengenai standar pelayanan publik di pengadilan.
MA pun mengaku sudah berkomitmen dalam membahas praktik korupsi di pengadilan dan menindak tegas oknum-oknum yang melakukan praktik tersebut. Ombudsman pun mengaku telah mengirimkan surat agar terjadi perubahan yang drastis di MA.
"Kami mengirimkan surat sejak Oktober kemarin ke MA untuk bisa duduk bersama dan membahas pandangan masyarakat bahwa Ombudsman dianggap lelet dalam menyikapi isu ini. Namun, pada faktanya kami justru belum mendapatkan surat balasan," ujar Ninik di tempat yang sama.
Ia mengatakan Ombudsman akan melakukan sidak agar surat itu segera direspons oleh MA.
"Kerja kami jadi terhambat, karena surat yang kami berikan malah tidak direspons secepatnya," tutur dia. - Rappler.com
Ayo langganan Indonesia wRap